Dialog Pagi di Puncak Menoreh
“Kapaan?”, tanyanya dengan setengah berteriak sesaat sebelum menaiki anak tangga pertamanya.
“Eh, hah, apa?”, aku sedikit kaget karena masih fokus dengan badan yang agak gemetaran. Selain karena udara pagi buta yang cukup cukup dingin, juga karena mengendarai motor di jalur yang agak curam dan mendaki selalu meninggalkan sensasi gemetar di tubuhku.
“Baiklah, aku pura-pura tidak tau sampai kita sampai di Puncak”, gadis di depanku berkata sebelum aku menjawab apa-apa.
Sambil menggosok-gosok kedua telapak
tangan untuk mengusir dingin, aku mengangguk kecil. Tidak terlalu mempedulikan
reaksi temanku. Pandanganku sudah terpaku. Di depanku sudah menanti anak tangga
yang tersusun dengan rapi. Nampak seperti tentara yang tengah berbaris. Suasana
pagi yang masih menyisakan kegelapan, serta kelokan tangga di ujung pandangan mata
membuatku tidak bisa melihat puncak anak tangga ini. Tertutup pepohonan, atau
karena puncaknya begitu tinggi hingga tak terlihat. Atau jangan-jangan...
“Seperti tidak berujung ya?”Andin, gadis yang berjalan di depanku seperti menyuarakan apa yang kupikirkan. Seperti biasa.
“Iya, mungkin sebenarnya memang tak berujung”, jawabku sambil memberikan cengiran. Pasti menyenangkan jika ratusan anak tangga yang menghampar di depanku ini mengarah ke atas atas dan tak berujung.
“Eh Jia, bukankah kita berdua seperti bidadari yang sedang berjalan pulang kembali ke kahyangan”
Aku mendengarkan perkataan Andin
sembari menyadari sekitar. Andin benar. Anak tangga yang tersusun ini mengarah
ke atas nampak menuju ke langit. Tentu saja, karena tangga-tangga ini tertanam
di bukit paling tinggi di Kota ini. Di kiri kanan kami hanya nampak pepohonan. Terlebih saat melihat ke belakang.
Tangga yang telah kami lewati tertutup kabut tipis romantis. Kabut yang nampak abadi karena selalu ada
jika kita ke sini di pagi, siang, maupun sore hari. Ah rasanya seperti benar-benar
menaiki tangga kahyangan.
“Kamu pernah dengar bahwa Himalaya, puncak tertinggi dunia, oleh kepercayaan tertentu diyakini sebagai tempat tinggal para Dewa. Konon, puncak ini dibuat sebagai peraga kediaman Dewa di Pulau Jawa. Bisa jadi benar. Kita memang sedang menuju kahyangan”, ucapku.
“Wow”. Matanya membulat ketika merespon.
“Tapiii, lebih tepatnya, kita ini dua bidadari nakal yang keasikan main di bumi, lantas baru pagi buta ingat untuk kembali ke kahyangan”
“Haha, benar”, ucapnya.
***
“Aaandiiin, aku mau menikaaah”, kataku sambil menyunggingkan senyum selebar mungkin. Tidak lama setelah kami menginjakkan kaki di puncak bukit.
“Jiaaaaa” Andin lompat kearahku, kemudian memelukku.
Kamipun berpelukan sambil melompat
heboh. Gaya heboh khas kami. Masih sama seperti 6 tahun yang lalu. Lompat sambil berpelukan. Sesuatu yang agak aneh jika
dilakukan sepasang sahabat pria. Haha, inilah enaknya jadi wanita. Untunglah
beberapa orang yang juga ada di puncak tidak terusik dengan kehebohan kami.
Mereka nampaknya tengah damai menikmati pemandangan dunia dari puncak
kahyangan ini.
“Tapi, aku sudah tauuu hahaa”, ucapnya sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipi kirinya.
“Ahhhh, pasti deh...kali ini tau dari mana?” tanyaku sembari tak lupa menyematkan mimik kesal.
“Suroloyo, tempat yang kamu pilih untuk trip kita ini. Aku sudah bisa menebaknya”
“Karena?”
“Mudah banget. Suro – berani dan Loyo – Mati. Nama tempat ini ‘berani mati’, ya kira-kira begitu setidaknya dari hasil googling-ku. Nah, ingat, Ngga? Dulu kamu pernah bilang, bagimu pernikahan adalah kematian kecil. Di mana seseorang seperti harus mematikan dirinya yang lama dan menghidupkan dirinya menjadi orang baru, tugas baru, status baru. Tak akan sama lagi ucapmu. Saat kamu sebutkan nama tempat yang akan kita kunjungi ini aku tau kalau kamu sudah siap untuk kematian kecilmu”.
“Ah, sial, harusnya aku memilih tempat yang lebih sulit lagi”.
Aku sebenarnya tidak perlu merasa heran.
Beginilah cara kami bersahabat, hingga saat ini. Selalu bisa saling menebak
apapun dari tanda-tanda semesta tanpa ucapan. Persahabatan kami cukup berbeda
dibanding yang lain. Kami tidak sering berkomunikasi secara langsung maupun
melalui segala media. Ini adalah pertemuan setelah 2 taun kami tidak bertemu dan berkabar. Aku iseng
mengirim pesan di sosial media. “Suroloyo, siap menanti kita”. Sesingkat itu.
Dan, tidak sampai setengah hari muncul balasan. “Jiaa, barusan aku sampe Jogja.
Jam 4 pagi besok kita ketemu di tempat
yang pasti kamu tau”. Aku yakin Andin akan sama tertawanya sepertiku melihat
pesan masing-masing. Sangat kebetulan. Selalu seperti itu. Begitulah, kami
selalu ditakdirkan bertemu di waktu yang seharusnya.
“Aku rasa tempat ini memang tepat. Lihat...”, Andin berkata sambil menunjuk ke satu arah.
Tanpa menjawab, sepertinya aku
mengerti yang dimaksud Andin. Mataku melihat ke kabut-kabut pagi yang mulai
berarak pergi. Cahaya di sana mulai naik memancarkan percikannya. Cahaya
kehidupan.
“Kematian kecilmu akan menjadi awal kehidupan baru yang indah, seperti ini”, tambahnya.
sumber: tourbalijava.com |
Aku
tidak langsung menimpalinya.
Mataku melihat 2 pasangan manis yang ada di sana. Sumbing – Sindoro dan
Merapi –
Merbabu. Di arah yang sama bisa kulihat samar-samar Candi Borobudur yang
tetap menyiratkan aura megah meski dalam ukuran mini. Pemandangan pagi
yang begitu menghidupkan hati. Kualihkan
pandanganku ke arah sebaliknya. Ada garis batas horizon gelap yang
terlihat.
Yang kutahu itu batas garis pantai. Mungkin Pantai Glagah, Kulon Progo.
Sekarang, aku benar-benar sedang berdiri tepat di
perbatasan. Separuh badanku masuk wilayah Magelang, separuh lagi masuk
Jogja. Sekarang
akupun sedang ada di batas kehidupanku menuju tingkat selanjutnya.
Mungkinkah...
“Tenang Jingga Maharani, Mas bergigi rapimu pasti orang yang tepat sebagai partner untuk hidup kembali dari kematian kecilmu” ucapnya sambil terkekeh.
“Andiin, daasar...udah ngga usah sok nebak-nebak apa yang aku pikirin”.
Bercakap-cakap
dengan sahabat selalu menjadi momen manis. Ada kalanya kamu ingin berbagi tanpa
harus berkata banyak namun orang itu bisa paham dan memberikan respon sesuai,
begitulah aku dan sahabatku. Terlebih kami seperti bisa saling menerka apa yang ada dipikiran masing-masing. Pagi, sahabat, puncak kahyangan, dan sebuah kabar
baik bukankah sesuatu yang sempurna?
“Eh, Ndin, sepertinya aku tahu kemana kamu akan mengajakku saat memberikan kabar baikmu”, celetukku.
“Haha...Jia, yang penting sekarang bukan kemananya tapi kabar baikku dengan siapanya hahahaaa”.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .
Bagus mak Kachan, smoga menang ya.
ReplyDeletehehehee,,,aamiin mak primss
DeleteKetoke ndue kenangan nan puncak Suroloyo ki mba Kachan ki, btw koreksi ya Suro = hiu loyo = lemah,jahahhaha
ReplyDeleteWaduh ketauan, hahaa...
DeleteIya kalau itu arti versi bahasa jawa daerah ketimuran, Mas ;))
Belitung menunggu!!!!hahhahahah
ReplyDeleteahahahaaa
Deletegood luck ya mak cantik.. btw itu fotonya, apiikkkkkkkk....
ReplyDeleteoalahhh aku kirain ini beneran mba.. bukan fiksi :).. tp memang kalo kita udh temenan segitu lamanya , kdg2 udh kayak telepati... bisa ngerti tnpa hrs diucap :D.. kyk temen di kantor.. aku suka heran tiap kali dia bicara ama sahabatnya di telp.. kata2nya ajaib bgt dah.."eh, itunya udh ditaro di itukan? " Apaan coba ;p.. tp s[ertinya temen yg dia ajak bicara nyambung2 aja kalo diliat dr balasan nya ;p
ReplyDelete