Tenun Lurik Jogja, Mengangkat Potensi Kearifan Lokal yang [belum] Punah
Friday 31 March 2017 | 59 comments
[Suatu siang, di Jogja Bagian Barat]
"Cetak...cetok...cetak...cetok...cetak..."
Suara alat tenun lurik terdengar menggema namun tidak memecah kekhusyukan aktivitas di ruangan. Iramanya khas dengan rima yang tetap.
"Aaaaaaaaaaaah..."
Dan teriakan saya pun sukses memecah keheningan sekaligus mengundang tawa simpul yang nampak diguratan keriput beberapa penenun. Ya, peluru penghantar benang di alat tenun yang sedang saya coba dengan semangatnya terlempar ke luar jalur akibat terlalu kuat menghentakkannya. Duh, gagal lagi.
Tentu saja, ibu-ibu berhati besar dan penyabar itu dengan senang hati kembali mengajari saya.
Tentu saja, ibu-ibu berhati besar dan penyabar itu dengan senang hati kembali mengajari saya.
***
Selembar Kain Sederhana
Adalah dia kain lurik. Selembar kain yang membuat saya jatuh cinta di sekitar tahun 2010 dan belum berhenti sampai sekarang. Buat sebagian orang dan bahkan beberapa orang terdekat saya, lurik nampak seperti kain yang 'sangat biasa'. Berupa garis-garis lurus yang stagnan, biasa, dan sederhana.
Adalah dia kain lurik. Selembar kain yang membuat saya jatuh cinta di sekitar tahun 2010 dan belum berhenti sampai sekarang. Buat sebagian orang dan bahkan beberapa orang terdekat saya, lurik nampak seperti kain yang 'sangat biasa'. Berupa garis-garis lurus yang stagnan, biasa, dan sederhana.
Penenun lurik. Photo: doc. pribadi |
Namun bagi saya justru itu yang membuatnya menarik.
Bagaimana sebuah kain dengan motif 'hanya' bergaris itu bisa begitu menguat
kesederhanaannya.
Dibalik kesederhanaannya,
lurik begitu sarat makna baik dalam proses pembuatannya maupun nilai yang
terkandung di dalamnya.
Pembuatan lurik merupakan proses yang tidak mudah dan cepat. Diawali dengan pewarnaan dan penjemuran benang. Setelah kering benang dipintal. Kemudian dilanjutkan proses me-nyekir, menata benang menjadi motif dan nyucuk, memindahkan desain motif ke alat tenun. Yang terakhir proses menenun itu sendiri.
Pembuatan lurik merupakan proses yang tidak mudah dan cepat. Diawali dengan pewarnaan dan penjemuran benang. Setelah kering benang dipintal. Kemudian dilanjutkan proses me-nyekir, menata benang menjadi motif dan nyucuk, memindahkan desain motif ke alat tenun. Yang terakhir proses menenun itu sendiri.
Dalam proses pembuatannya ada banyak pembelajaran positif yang bisa dipetik. Nilai-nilai yang mampu bersinergi dengan jati diri. Pelajaran tentang keuletan, ketelatenan, dan juga kesabaran. Buka hanya itu saja, menenun juga membutuhkan kemampuan integrasi dan koordinasi yang baik dari hati, gerakan tangan-kaki, dan juga pikiran.
Jika terjadi sedikit kesalahan, tidak jarang benang-benang
itu harus dipilin dan dirapikan ulang satu per satu. Dan jumlahnya, tidak perlu
dipertanyakan lagi banyaknya.
Membenahi benang. Photo: doc. pribadi |
Lurik sendiri berasal dari akar kata 'rik' yang artinya garis atau parit yang dimaknai
sebagai pagar pelindung. Oleh karena itu pemakaian lurik diharapkan mampu
menjadi pagar pelindung bagi pemakainya.
Motifnya sendiri juga tidak lepas dari nilai dan filosofi. Misalnya saja corak Kluwung (pelangi). Pelangi dianggap sebagai keajaiban alam dan kebesaran Tuhan. Oleh karena itu motif Kluwung menurut kepercayaan dianggap sakral dan mempunyai tuah untuk menolak bala.
Bagi masyarakat Jogja, lurik sendiri bukan sekadar kain untuk bahan pakaian, namun dibutuhkan sebagai perlengkapan dibanyak acara yang berhubungan dengan adat dan budaya. Dalam upacara adat, mitoni, ruwatan, siraman, labuhan, bersih desa, dan pagelaran wayang kulit.
Motifnya sendiri juga tidak lepas dari nilai dan filosofi. Misalnya saja corak Kluwung (pelangi). Pelangi dianggap sebagai keajaiban alam dan kebesaran Tuhan. Oleh karena itu motif Kluwung menurut kepercayaan dianggap sakral dan mempunyai tuah untuk menolak bala.
Bagi masyarakat Jogja, lurik sendiri bukan sekadar kain untuk bahan pakaian, namun dibutuhkan sebagai perlengkapan dibanyak acara yang berhubungan dengan adat dan budaya. Dalam upacara adat, mitoni, ruwatan, siraman, labuhan, bersih desa, dan pagelaran wayang kulit.
Atas nilai, gagasan, identitas, dan juga wujud yang
melekat padanya, tenun lurik Jogja termasuk dalam kearifan lokal berwujud nyata
(intangible). Bagian dari produk budaya yang sudah seharusnya kita jaga.
Potensi di Barat Jogja
Mungkin banyak yang belum tahu jika daerah Jogja di bagian barat, yaitu Gamplong, Godean, dan Moyudan dahulunya merupakan sentra pembuatan tenun yang cukup terkenal. Baik pembuatan tenun polos, stagen, maupun tenun lurik. Walaupun sudah tidak sebanyak dahulu namun sisa-sisa potensi tersebut masih terlihat hingga sekarang.
Mungkin banyak yang belum tahu jika daerah Jogja di bagian barat, yaitu Gamplong, Godean, dan Moyudan dahulunya merupakan sentra pembuatan tenun yang cukup terkenal. Baik pembuatan tenun polos, stagen, maupun tenun lurik. Walaupun sudah tidak sebanyak dahulu namun sisa-sisa potensi tersebut masih terlihat hingga sekarang.
Salah seorang pemilik usaha tenun di daerah Gamplong yang
pernah saya temui mengatakan jika memang usaha tenun lurik di desanya sudah
semakin berkurang. Bahkan beliau sendiri akhirnya lebih fokus pada usaha tenun
pembuatan tali dari daun pandan dibandingkan tenun lurik. Lagi-lagi soal
permintaan pasar yang lebih menjanjikan.
Baca juga: #BatikIndonesia, Lebih dari Sekadar Motif dan Pengakuan Diri
Baca juga: #BatikIndonesia, Lebih dari Sekadar Motif dan Pengakuan Diri
#BatikIndonesia, Lebih dari Sekadar Motif dan Pengakuan Diri
Semakin menurunnya jumlah pengusaha maupun penenun lurik
tidak berati membuat potensi lurik di daerah Barat Jogja ini punah. Masih ada
mereka yang bertahan menjalankan alat tenunnya. Dua di antaranya adalah Lurik
Kembangan dan Sari Puspa di Moyudan.
alat tenun bukan mesin (ATBM). photo: doc. pribadi |
Lurik tenun ATBM memang terkenal memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan alat tenun mesin. Saya sendiri sudah melihat dan mengakui jika kualitas lurik ATBM memang sangat baik, yang bisa dirasakan dari hasilnya maupun ditelaah nilai dan proses pembuatannya. Sebuah potensi yang sangat bernilai.
Nah, bagi teman-teman yang sedang ke Jogja mungkin bisa mulai berburu lurik-lurik di kawasan Jogja Bagian Barat ini. Gamplong, Godean, Moyudan, adalah satu kawasan yang cukup mudah dicari dan ditanyakan pada orang sekitar. Datang dan lihatlah sendiri usaha para penenun yang masih gigih mempertahankan potensi diri dan budayanya :)
Luriko dan Sebuah Kontribusi Penjagaan
Budaya
Sebaik apapun potensi yang dimiliki, jika tidak
dijaga dan dilestarikan tentu tetap berpotensi hilang.
Pemilik
Sari Puspa mengatakan “Waktu tahun 90-an permintaan lurik cukup bagus, Mba.
Waktu itu kami sering dapat permintaan ekspor ke Jepang dengan angka yang
sangat tinggi”.
Beliau
menambahkan, semenjak peristiwa Bom Bali pada 2002 silam, makin lama permintaan
lurik baik di dalam maupun luar negeri semakin menurun.
Memang,
beberapa tahun terakhir permintaan mulai naik karena beberapa designer
kembali menggaungkan lurik, namun permintaannya masih sangat jauh dibandingkan
dahulu.
Ibu
Susi salah seorang penenun dari daerah Godean menyampaikan keluhannya akan
regenerasi penenun lurik di desanya, "Dari sekian belas orang penenun,
sekarang tinggal 7 orang, Mba. Itupun usianya sudah tua-tua. Anak muda sekarang
lebih suka bekerja di pabrik dibandingkan nenun".
Tidak
bisa dipungkiri hasil yang mereka peroleh dari menenun masih pasang surut.
Kadang pesanan lumayan, kadang tidak ada sama sekali. Oleh karena ituh hingga
sekarang kegiatan menenun belum mereka jadikan pegangan utama dalam keuangan
keluarga mereka.
Jika
permintaan semakin menurun, entah bagaimana nasib regenerasi penenun
kelak.
Atas
dasar inilah, di 2015 saya mantab memulai membuat Luriko - usaha
dibidang fashion yang memakai lurik sebagai bahan utama. Hingga kemudian di
2016 mulai mempublikasikannya secara lebih luas.
produk luriko. photo: doc.pribadi |
produk luriko. photo: doc.pribadi |
produk luriko. photo: doc.pribadi |
produk luriko. photo: doc.pribadi |
Alasan yang pertama hadirnya
Luriko berangkat dari niat awal, mungkin dengan menyebarkan kecintaan kita akan
sesuatu pada khalayak luas, akan menjadi kontribusi yang bermanfaat bagi banyak
pihak.
Yang kedua alasan
ketidakrelaan akan lunturnya lurik dari budaya setempat. Contohnya saja desa tempat saya tinggal sekarang, daerah Gamping. Sekitar 3 dekade lalu, desa saya ini (masih) menjadi salah
satu sentra pembuatan tenun lurik stagen. Kini, usaha tersebut sudah hilang tak
berbekas. Bukan hanya wujud usahanya, namun juga tempat, dan juga generasi
penerusnya. Yang tertinggal hanya secuplik kisahnya. Sedih. Tentunya tidak ingin nasib yang sama terjadi di wilayah Tenun Lurik di Jogja bagian Barat yang tersisa.
Alasan ketiga, tentu saja sebuah harapan untuk berpartisipasi dalam
mengangkat kembali potensi lurik (khususnya Lurik Jogja) di tengah kain-kain nusantara lainnya.
Bagaimanapun, tidak bisa dipungkiri bahwa lurik masih harus berjuang menaikkan
pamor di tengah kain-kain nusantara lainnya yang sudah digandrungi masyarakat.
***
Selain itu luriko juga sedang berusaha untuk bekerja sama dengan beberapa penenun lurik untuk menggunakan bahan alami dalam proses pewarnaannya. Bukan hal yang mudah karena effort yang diberikan juga harus lebih besar. Namun sesuatu yang lebih baik tetap harus dicoba. Diharapkan bisa terealisasi dalam waktu dekat.
Semoga ke depannya kontribusi kami pada lingkungan bisa jauh lebih baik lagi amin.
packaging luriko. photo : doc. pribadi |
***
Luriko mungkin hanya salah satu dari berbagai upaya yang
bisa kita lakukan untuk menjaga kearifan lokal di sekitar, khususnya kain tenun lurik dari Jogja bagian Barat.
Yang sudah patut disyukuri, kain yang nampak sederhana namun sarat makna ini mulai kembali memperlihatkan geliat potensinya di tengah masyarakat.
Yang sudah patut disyukuri, kain yang nampak sederhana namun sarat makna ini mulai kembali memperlihatkan geliat potensinya di tengah masyarakat.
PR terbesar sekarang bukan hanya bagaimana kita mampu
mengangkatnya kembali, namun juga mulai menyeimbangkan dengan bagaimana agar
proses regenerasi juga terjaga agar ia tidak berpotensi hilang dalam
perkembangan jaman.
Tentu saja, masing-masing dari kita pasti punya cara
tersendiri untuk berkontribusi. Semoga kita selalu diberikan kepekaan untuk
menjaga dan melestarikan nilai dan budaya setempat. Tentunya tanpa melupakan
keselarasan lingkungan.
Selamat saling menginspirasi.
Salam,
Kachan
-------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar pustaka :
- Wawancara dengan penenun tenun lurik di daerah Moyudan.
- Musman, Asti. 2015. Lurik. Yogyakarta:Andi (buku)